Dalam sebuah pernikahan, perceraian merupakan mimpi jelek bagi semua keluarga. Meskipun di dalam Islam dihalalkan, namun tetap saja perceraian bukanlah satu-satunya jalan untuk menuntaskan masalah.
Di dalam agama Islam, pihak yang berhak melayangkan talak ialah suami. Tapi, jikalau ada suatu hal yang benar-benar mendesak, maka istri pun diperbolehkan menggugat cerai. Seperti ketika suami murtad, istri berhak menggugat cerai suami. Lalu, bagaimana hukumnya?
Cerai |
Inilah Hukum jikalau Menggugat Cerai Suami alasannya ialah Pindah Agama
Jika pada ketika menikah, kedua mempelai memeluk agama Islam dan ijab kabul dilakukan secara aturan Islam, maka untuk menuntaskan problem tersebut sanggup mengajukan ke Pengadilan Agama. Tidak peduli salah satu pihak sudah murtad.
Dalam Surat Edaran Mahkamah Agung dinyatakan bahwa jikalau terjadi perceraian, maka yang dipakai dalam menuntaskan problem ialah peraturan aturan agama ketika mereka menikah. Yang mempunyai wewenang pun Pengadilan Agama, bukan Pengadilan Negeri.
Ini sanggup menjadi pelajaran penting, jikalau ada calon suami istri yang akan menikah berbeda agama pada mulanya, lalu salah satunya pindah agama Islam, maka tetap gunakanlah agama Islam dalam proses pernikahannya. Sebagai antisipasi, ketika terjadi perceraian maka yang akan menuntaskan ialah Pengadilan Agama.
Keuntungannya, alasannya ialah hakim yang menuntaskan juga beragama Islam. Jadi, ada impian bagi yang beragama Islam untuk mendapat hak pengasuhan anak, alasannya ialah anak tersebut lahir dari keluarga muslim dan sebaiknya diasuh oleh orang tuanya yang muslim.
Sebaliknya, jikalau pada awalnya suami istri tersebut non muslim, lalu salah satunya menjadi muslim, maka peraturan yang dipakai dalam perceraian ialah denganhukum perdata Barat, dan pengadilannya ialah Pengadilan Negeri.
Untuk pengasuhan anak di bawah aturan perdata, jikalau anak berusia di bawah 12 tahun, maka ikut sang ibu. Sementara jikalau sudah lebih dari 12 tahun, maka diperbolehkan menentukan ikut ibu atau sang ayah. Kecuali jikalau kondisi sang ibu tidak memungkinkan untuk mengasuh, maka akan dialihkan hak asuh pada ibu dari ibu pihak istri (nenek orang renta ibu).
Semoga bermanfaat!
Dalam Surat Edaran Mahkamah Agung dinyatakan bahwa jikalau terjadi perceraian, maka yang dipakai dalam menuntaskan problem ialah peraturan aturan agama ketika mereka menikah. Yang mempunyai wewenang pun Pengadilan Agama, bukan Pengadilan Negeri.
Ini sanggup menjadi pelajaran penting, jikalau ada calon suami istri yang akan menikah berbeda agama pada mulanya, lalu salah satunya pindah agama Islam, maka tetap gunakanlah agama Islam dalam proses pernikahannya. Sebagai antisipasi, ketika terjadi perceraian maka yang akan menuntaskan ialah Pengadilan Agama.
Keuntungannya, alasannya ialah hakim yang menuntaskan juga beragama Islam. Jadi, ada impian bagi yang beragama Islam untuk mendapat hak pengasuhan anak, alasannya ialah anak tersebut lahir dari keluarga muslim dan sebaiknya diasuh oleh orang tuanya yang muslim.
Sebaliknya, jikalau pada awalnya suami istri tersebut non muslim, lalu salah satunya menjadi muslim, maka peraturan yang dipakai dalam perceraian ialah denganhukum perdata Barat, dan pengadilannya ialah Pengadilan Negeri.
Untuk pengasuhan anak di bawah aturan perdata, jikalau anak berusia di bawah 12 tahun, maka ikut sang ibu. Sementara jikalau sudah lebih dari 12 tahun, maka diperbolehkan menentukan ikut ibu atau sang ayah. Kecuali jikalau kondisi sang ibu tidak memungkinkan untuk mengasuh, maka akan dialihkan hak asuh pada ibu dari ibu pihak istri (nenek orang renta ibu).
Semoga bermanfaat!
0 Comments