Film masa kecil yang hampir tiap hari tayang di salah satu televisi swasta ini sudah saya tunggu-tunggu penayangannya di bioskop sehabis tahu bahwa akan dibentuk film di tahun 2017. Menunggu selama setahun, balasannya hari ini, 30 Agustus 2018, film Wiro Sableng 212 atau Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 resmi tayang serentak di seluruh bioskop Indonesia. Jadwal tayang yang rencananya tayang di bulan September, menjadi maju ke bulan Agustus lantaran tingginya antusias pecinta film legendaris ini.
Film Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni merupakan film drama, kolosal, komedi, fantasi Indonesia. Film ini diangkat dari novel legendaris Indonesia yang berjudul Wiro Sableng 212 yang ditulis oleh Bastian Tito. Dari 185 buku novel Wiro Sableng, dongeng Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 diambil dari buku ke-1 hingga 10, walaupun ada beberapa huruf yang diambil dari luar kesepuluh buku tersebut.
Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 digarap oleh Angga Dwimas Sasongko, dan ditulis oleh Seno Gumira Ajidarma, Tumpal Tampubolon, dan Sheila Timothy. Film ini dibintangi oleh Vino G. Bastian yang merupakan anak dari penulis Wiro Sableng 212, Yayan Ruhian, Sherina Munaf, Fariz Alfarazi, Marsha Timothy, Cecep Arif Rahman, Dwi Sasono, Lukman Sardi, Marcela Zalianty, Happy Salma, Marcel Siahaan, Yusuf Mahardika, Dian Sidik, Ruth Marini, dan masih banyak lagi.
Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 mengisahkan wacana seorang anak pria yatim piatu, Wira yang mana orangtuanya dibunuh oleh Mahesa Birawa (Yayan Ruhian) dan anak buahnya ketika ia masih kecil. Seorang guru dari gunung Gede, Sinto Gendeng (Ruth Marini), membawanya ke gunung kemudian diasuh dan dididik menjadi seorang seorang pendekar yang diberi nama Wiro Sableng (Vino G. Bastian).
Selama tujuh belas tahun, Wiro Sableng dilatih oleh sang guru Sinto Gendeng untuk menjadi seorang pendekar dan mewarisi kapak naga 212 miliknya. Setelah mendapat ilmu yang cukup mumpuni, sang guru menyuruhnya untuk turun gunung menjalani kehidupannya dan membawa Mahesa Birawa yang juga merupakan mantan murid Sinto Gendeng yang telah menghianatinya juga telah membunuh kedua orangtua Wiro Sableng kembali ke gunung Gede
Pada ketika perjalanan turun gunung, Wiro bertemu dengan Dewa Tuak (Restu Triandy atau yang dikenal dengan Andi/rif) dan muridnya Anggini (Sherina Munaf). Dewa Tuak mengenal Wiro, sementara Anggini sama sekali tak mengenalnya. Anggini yang sedang diuji oleh Dewa Tuak untuk bisa lulus ujian, ia harus membantu Wiro menjalankan misinya.
Ketika Wiro sedang menikmati waktunya di sebuah kedai, orang-orang Mahesa yang dipimpin oleh Kalingundil (Dian Sidik) ingin menculik Pangeran (Yusuf Mahardika). Di sinilah konflik dongeng Wiro Sableng berpusat, yaitu sebuah penghianatan yang dilakukan oleh dua orang dalam kerajaan yang dipimpin oleh Raja Kamandaka (Dwi Sasono) dan permaisurinya (Marcela Zalianty). Adik Kamandaka, Kalasrenggi (Teuku Rifnu Wikana) dan orang kepercayaan kerajaan, Werku Alit (Lukman Sardi) menghianati Raja Kamandaka lantaran ingin mengambil alih kerajaan dan bergabung dengan si jahat Mahesa Birawa.
Bersama Anggini dan Bujang Gila Tapak Sakti (Fariz Alfarazi), Wiro membantu kerajaan sekaligus melaksanakan pembalasan dendam pada Mahesa Birawa dengan jurus-jurus sakti dan senjata mereka.
Pernah menjadi tontonan yang kudu harus ditonton ketika kecil, menonton film ini ibarat membawa kenangan ke masa itu. Namun tentunya banyak hal yang berbeda. Dalam film ini terdapat karakter-karakter yang barangkali tak ada dalam sinetron, rasa yang berbeda dengan atmosfir dan suasana yang berbeda lantaran ditonton di layar lebar, dan tentunya lebih lezat ditonton lantaran didukung dengan CGI (Computer Generated Imagery) yang sangat baik.
Film yang diproduseri oleh Sheila Thimoty ini sudah dipersiapkan dengan sangat matang. Mulai dari riset, mencari lokasi dan pemain, hingga menjadi suguhan film yang siap tayang membutuhkan waktu kurang lebih tiga tahun. Mulai dari rancangan kostum, lokasi, pemain, hingga memasukkan imbas CGI.
Dengan melaksanakan kerjasama dengan 20th Century Fox, film ini menjadi film pertama di Asia Tenggara yang mendapat pemberian dari production house besar tersebut. Oleh lantaran itu, ketika menonton film ini terasa menonton film luar negeri dengan efek, gambar, bunyi yang sangat jernih dan berkualitas baik. Dan film Wiro Sableng menjadi film yang paling ditunggu-tunggu oleh para pecinta dan penikmat film di Indonesia.
Penggarapan film ini juga membutuhkan proses yang cukup lama. Selama lima bulan sebelum melaksanakan shooting, para pemain digembleng untuk melaksanakan reading dan mencar ilmu ilmu bela diri pencak silat oleh Yayan Ruhiyan. Ilmu bela diri orisinil Indonesia ini menjadi ciri khas dalam film ini. Setelah itu gres melaksanakan proses pengambilan adegan yang dilakukan selama tiga bulan lebih. Dalam proses tersebut tentunya banyak tantangan, hal-hal menarik dan lucu terjadi, salah satu diantaranya yakni bintang film Sinto Gendeng yang diperankan oleh Ruth Marini memakan waktu delapan jam untuk mengubah dirinya menjadi nenek-nenek hingga menciptakan ibunya sendiri tak mengenalinya.
Dengan adanya film Wiro Sableng, Indonesia ibarat mempunyai superhero fantasi sendiri. Namun rasanya tak adil jikalau kita membandingkan film ini dengan film superhero fantasi sekelas Marvel atau DC. Wiro Sableng pastinya masih jauh dibawah mereka. Akan tetapi hal yang perlu digarisbawahi di sini yakni bahwa seluruh hal yang digambarkan dalam dongeng film Wiro Sableng 212 ini, dari kostum, alam, hingga senjata yang dipakai seluruh huruf dalam film ini, semuanya memperlihatkan budaya dari beberapa tempat di Indonesia, sangat lokal. Dan film Wiro Sableng
Pendekar Kapak Maut Naga Geni ini gres hanya permulaan dari film Wiro Sableng 212. Untuk film selanjutnya penonton niscaya berharap film ini bisa memperlihatkan film dengan dongeng dan segala hal lebih anggun lagi.
Sejujurnya, saya tahu dan menonton film ini lantaran Sherina Munaf terlibat di dalamnya. Saya rasa penggemar setia Sherina pun menunggu karya Sherina yang sudah beberapa tahun ini tak kelihatan di dunia musik atau perfilman lantaran sedang disibukkan oleh pendidikannya di Jepang. Meskipun menyaksikan Sherina berakting dalam huruf Anggini, huruf tersebut tetap terasa Sherina-nya. Barangkali bisa dimaklumi lantaran bidang basic Sherina bukan akting dan huruf Anggini sedang dibangun dalam film yang akan menjadi film trilogi ini. Namun saya tahu, Sherina menjalankan semuanya dengan penuh ke-perfeksionis-an-nya. Yang membedakan Anggini dengan Sherina yakni hebat silatnya. Melihat aksinya di film ini cukup menghilangkan rasa rindu akan kehadiran dan karyanya. Menjadi salah satu pemain dalam film ini tentunya menjadi momen kembalinya awal gres dunia akting bagi Sherina sehabis Petualangan Sherina (2000) delapan belas tahun yang lalu.
Well, kembali ke dongeng Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212, menonton film ini cukup membawa nostalgia ke masa-masa kecil dengan dongeng kolosalnya. Mengangkat kembali dongeng dari isi novelnya (bukan sinetronnya), menciptakan film ini bisa ditonton oleh siapapun meskipun bukan anak '90an atau pun yang belum pernah menonton sinetron dan membaca novel Wiro Sableng sebelumnya.
Layakkah film ini ditonton? Meskipun masih ada beberapa kekurangan, film ini tentu sangat amat layak. Karena dari segala aspek; pemain, proses, alam, dan kebudayaan yang disuguhkan dalam dongeng film ini, semuanya sangat Indonesia. Bahkan, meskipun film ini didukung oleh PH luar, 90 persen proses pengerjaan film ini dilakukan oleh orang Indonesia. Kelucuan, satir, filosofi, karya seni, dan seni bela diri pencak silat tersaji dalam film ini.
Nilai: 4.5/5
0 Comments